Prabu Aji Saka dalam berbagai kitab kuno diletakkan sebagai tokoh kunci awal sejarah agama di Jawa, baik lesan maupun tulisan, dan dipercaya sebagai guru yang mengajarkan hurut Jawa kali pertama. Kepandaian baca tulis Aji Saka ditularkan kepada orang Jawa. Ia diyakini sebagai seorang ksatria dari India Muka. Maka, ia meletakkan dasar-dasar tata pemerintahan dankeagamaan dengan membawa kitab-kitab dari India. Pengikutnya diajari melek huruf yang pertama kali. Dalam khasanah sastra lesan, khususnya lakon-lakon kethoprak, hal ini bisa diketahui dengan menghayati adegan Dora Sembada. Dora dan Sembada adalah dua orang murid atau pengikut Aji Saka. Keduanya salah paham dalam menafsirkan wasiat Aji Saka. Oleh karena itu, kemudian Aji Saka mengabadikannya dengan mantra :
Hana caraka,
Data sawala
Padha jayanya,
Maga bathanga.
Artinya:
Ada perutusan,
Terjadi pertengkaran,
Sama kuatnya,
Keduanya tewas menjadi bangkai.
Mantra tersebut sangat padat dan bermakna. Masing-masing terdiri dari suku kata yang berbeda sehingga menjadi buruf Jawa yang sampai sekarang masih dipakai oleh orang Jawa. Mantra ini abadi hingga saat ini, tentulah karena memiliki nilai historis spiritual yang tinggi dan dibuat dengan dilandasi suatu pemikiran yang luar biasa. Mantra Aji Saka ini hampir sama dengan Rajah Kalacakra atau mantra Wisnu sebagai penolak kejahatan Batara Kala yang disusun dalam tembang Jawa Kuno Sekar Prawira Lala yang bunyinya demikian :
Yamaraja - jaramaya; Yamarani - nitamaya;
Yasilapa - palasiya; Yamidoro - rodomiya;
Yamidosa - sadomiya, Yadayuda - dayudaya;
Yasiyaca - cayasiya; Yasihama - mahasiya.
Artinya:
Hai niat jabat berbentilah,
Hai yang datang pergilah,
Hai yang membuat lapar kenyangkanlah,
Hai yang membuat melarat cukupkanlah,
Hai yang menyengsarakan hentikanlah,
Hai yang memerangi damaikanlah;
Hai yang menipudaya berbelas kasihlah;
Hai yang menjadi perusak perbaikilah.

Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Sumber:
Buku Islam Kejawen